Teater: Bukan Seni Paruh Waktu
(Laporan Jalan-Jalan ke Festival Teater Jakarta)
Laode Iman Toffani
Teater selalu menjadi bentuk seni yang menarik di mata saya, mungkin satu yang paling menarik selain fotografi. Fotografi bisa menang karena hanya butuh satu momen dan visual yang menjadikannya menarik, namun teater berusaha lebih keras untuk membangun kesan ciamik bagi para penikmatnya. Bagaimana latar belakang ceritanya? Bagaimana pemilihan aktornya? Bagaimana pengaturan panggung dan suaranya? dan banyak hal detail lainnya yang menjadikan suatu pertunjukan teater mengena dan dikenang oleh penikmat?
Jadi penikmat teater akan membutuhkan effort lebih bagi anda, karena biasanya pertunjukkan teater yang apik datang denga harga tiket yang lebih mahal, serta tidak bisa dinikmati di sembarang tempat. Namun, melihat apa yang para penggiat teater lakukan untuk dapat membangun hasrat seni mereka menjadi gelaran yang siap saji, apakah harga tiket bisa jadi ukuran? Walaupun iya, tolong jangan ukur seni lakon dengan itu.
Kemarin saya datang ke Festival Teater Jakarta ke-40sekian, gelaran yang rutin dilaksanakan sebagai bentuk selebrasi teater di Jakarta yang diikuti dengan diskusi, kompetisi, dan bahkan bedah pertunjukkan. Menarik sekali melihat banyak pecinta dan penggiat teater berkumpul dalam satu arena legendaris ini: Taman Ismail Marzuki. Para penggiat seni teater baik yang muda hingga legendaris seperti Pak Boneng datang kemari meramaikan acara yang penuh sejarah ini. Saya pun ikut menikmati, menjelajah kesana kesini menhidupkan situasi.
Mie rebus warung sudah saya habiskan sore itu, bersama dengan 2 batang filter dan segelas kopi tubruk 4 ribuan yang dijual tepat samping arena Teater Kecil. Menyenangkan sekali melihat kepulan asap rokok yang bersatu dengan suara para pemain gitar, bernyanyi lagu Ebiet.G.Ade bersama-sama di warung kopi temporer itu.
Memang ada sesuatu yang sangat membumi dan “Indonesia” dari sebuah acara teater. Dimanapun aku pergi kopi tubruk akan menjadi minuman resmi yang menghiasi sudut-sudut area, bersama dengan rokok kretek dan para pria gondrong dengan gaya seadanya, seakan itu pakem yang harus diikuti oleh mereka. Saya pun menikmati candaan dan celetukan mereka yang mungkin ngawur, tapi cukup membawa tawa bagi saya ditengah dinginnya Jakarta yang sedang dilanda hujan dan angin sore. Saya merasa seperti anak kecil diantara para orang tua yang berkumpul, sedikit tidak sopan, tapi dimaklumi adanya karena rasa penasaran. Dan seperti anak kecil itu, saya banyak diam dan tertawa kecil mendengarkan.
Acara berjalan dengan tepat waktu, saya melihat-lihat eksibisi yang diadakan di Lobi Teater Kecil, penuh dengan spanduk kain yang digelar di tiang bambu. Setiap poster berisikan tentang kutipan teater di masa dulu, yang dengan mudah kusimpulkan dari ejaan lama yang menghiasi posternya.
Di satu sudut, ada meja besar yang dilengkapi headphone dan tempelan headline surat kabar. Apakah gerangan? Oh ternyata ini adalah rekaman diskusi seni yang sengaja diputar panitia untuk pengunjung agar belajar mengenai teater. Saya pun semangat mendengarkan sebagian besar rekaman, seperti rekaman Sapardi Djoko yang sedang membahas tentang cerita oleh Putu Wijaya yang sangat membumi dan berbeda dalam menanggapi realitas sosial, atau rekaman salah satu radio mengenai pentas “Syekh Siti Djenar” yang sangat bagus dalam memanfaatkan momentum. Sangat-sangat menarik mendengarkan diskusi ini secara privat, yang saya harap masih bisa saya temukan dalam konteks kini.
Saya sempat bertanya-tanya mengenai gelaran teater yang akan datang. Sangat disayangkan ternyata saya sudah melewatkan beberapa pertujukkan yang dimulai sejak 29 November, tapi masih ada pementasan lain yang seru hingga Kamis. Seperti lakon “Melangkah” oleh sutradara Scotlet pada hari Senin dan “Bukan Rumah Gue” yang akan berlangsung Selasa. Saya menjatuhkan pilihan pada lakon Selasa, karena konsep teater “arena” yang belum pernah saya nikmati sebelumnya
Walaupun belum bisa menonton lakon “Melangkah”, rasa penasaran saya cukup menggebu untuk mengetahui lebih jauh. Beruntunglah, ternyata diskusinya akan berlangsung kurang lebih setengah jam lagi, jadilah saya, “melangkah” ke agenda diskusi malam itu, yang diikuti “hanya” oleh sang sutradara. Lakon “Melangkah” sendiri adalah salah satu lakon yang mengikuti kompetisi teater FTJ tahun ini, hanya membawa 5 orang panitia, 3 pemain dan satu cerita realis tentang ibu Single Parent yang sedang gusar akan anaknya yang akan merantau.
Penjelasan pun diberikan oleh bapak Scotlet saat diskusi, bahwa lakon “Melangkah” adalah salah satu lakon yang unik. Keunikan yang diberikan adalah lakon ini hanya berlangsung 30-50 menit, dengan 30 penonton? Hmmm, ada apa dengan 30? Apakah ada pesan simbolik yang mau diberikan (saya jadi browsing apa pilkada DKI tanggal 30, ya?). Well, ternyata 30 hanyalah sebuah kebetulan yang “disengaja” oleh sang sutradara. 30 penonton adalah jumlah penonton yang dirasa “cukup” bagi sang sutradara untuk membangun atmosfir yang dibutuhkan dalam lakon.
Lakon “Melangkah” menurut Scotlet sangat membutuhkan reaksi penonton sebagai bagian dari cerita, dan terlalu banyak penonton justru akan merusak bagian tersebut. Scotlet juga merasa, 30-50 menit adalah waktu yang cukup untuk membangun cerita ini hingga akhir, dan memberikan waktu yang lebih panjang untuk menjadikan ia seperti “lakon pada umumnya” hanya akan merusak aliran cerita, dan bahkan menjadikannya berlebihan. Hmmmm, segalanya kini masuk akal sekali menurut saya. Tapi, rasa penasaran saya justru terletak pada pemilihan tempatnya, mengapa di lobi? Apalagi mengetahui panitia FTJ menyediakan teater kecil untuk setiap lakon. Hmmmm, pertanyaan yang sayangnya kurang terjawab di sesi diskusi.
Anyway, ini adalah salah satu pengalaman yang menarik, dan membuat gue berjanji akan balik ditahun depan. Selamat dan sukses untuk teater Indonesia!
Anyway, ini adalah salah satu pengalaman yang menarik, dan membuat gue berjanji akan balik ditahun depan. Selamat dan sukses untuk teater Indonesia!
Komentar
Posting Komentar